Existence (https://aleteia.org/2017/05/22/a-rational-argument-for-the-existence-of-god-goes-viral/) |
Deskripsi
Manusia memiliki bermacam cara dalam mengkonsepkan sesuatu. Konsep yaitu gambaran yang diterima oleh rasio setelah indra mempersepsi alam. Hasil dari pekerjaan mempersepsi adalah konsep yang ditangkap oleh rasio. Maka wilayah konsep adalah wilayah rasio. Dari perjalanannya konsep kemudian dibagi dalam tiga macam dimana konsep-konsep ini ada yang memiliki realitas di alam dan ada juga yang hanya dapat tinggal di rasio saja. Hal ini dikarenakan konsep berasal dari alam sehingga konsep tentunya memiliki realitas, namun rasio juga memiliki fungsi untuk mengolah dan memilah sehingga diperoleh suatu konsep yang tidak ada realitasnya di alam.
Manusia memiliki bermacam cara dalam mengkonsepkan sesuatu. Konsep yaitu gambaran yang diterima oleh rasio setelah indra mempersepsi alam. Hasil dari pekerjaan mempersepsi adalah konsep yang ditangkap oleh rasio. Maka wilayah konsep adalah wilayah rasio. Dari perjalanannya konsep kemudian dibagi dalam tiga macam dimana konsep-konsep ini ada yang memiliki realitas di alam dan ada juga yang hanya dapat tinggal di rasio saja. Hal ini dikarenakan konsep berasal dari alam sehingga konsep tentunya memiliki realitas, namun rasio juga memiliki fungsi untuk mengolah dan memilah sehingga diperoleh suatu konsep yang tidak ada realitasnya di alam.
Konsep-konsep yang telah disebutkan di atas adalah konsep logika, konsep mahiyah, dan konsep falsafi. Konsep logika adalah konsep yang mengandalkan kemampuan rasio dalam mengolah hasil dari persepsi indra. Konsep ini tidak memiliki realitas di alam karena konsep ini hasil olahan rasio. Misal ketika kita mempersepsi seseorang bernama Ali maka muncul konsep di rasio yaitu manusia. Konsep ini disebut konsep logika, karena kita tidak akan menemukan manusia (universal) di realitas, yang kita temukan adalah Ali (partikular).
Konsep mahiyah adalah konsep esensi dimana konsep ini merupakan hasil kerja indra yang disampaikan pada rasio. Konsep ini muncul dari hasil persepsi dan tanpa diolah oleh rasio. Apa yang dipersepsi pada realitas, itu pun yang dikonsepkan. Indra mempersepsi realitas dalam batasan-batasan dan ke-apa-an dari sesuatu. Misal kita mengindra buku, pulpen, spidol, handphone, laptop, kemudian muncul konsep dari partikular-partikular tersebut. Selama kita mempersepsi segala sesuatu dalam batasan-batasannya dan membedakannya, maka kita menggunakan konsep mahiyah.
Konsep falsafi adalah konsep paling fundamental dimana dengan konsep ini diperoleh suatu pengetahuan baru. Konsep falsafi melibatkan kerja rasio dalam mengamati realitas. Rasio tak hanya mempersepsi saja, namun rasio juga mencari keterhubungan di realitas. Seperti konsep sebab akibat yang diperoleh ketika terjadi buku yang jatuh. Ketika indra mempersepsi buku yang jatuh maka rasio akan menangkap realitas bahwa terdengar bunyi karena buku jatuh, kemudian buku juga berpindah dari atas ke bawah. Maka rasio akan mengolah dan mencari keterhubungan di atas. Berdasarkan kerja rasio dapat diketahui bahwa sebab buku terjatuh, akibatnya terdengar bunyi dari jatuhnya buku. Dan apabila diketahui bahwa buku itu terjatuh karena tangan yang menyenggolnya. Maka sebab tangan menyenggol, akibatnya buku terjatuh. Kemudian rasio juga mencari tahu kenapa buku terjatuh ke bawah, diperoleh pengetahuan adanya gaya gravitasi. Maka sebab adanya gaya gravitasi, akibatnya buku terjatuh ke bawah. Dan akan timbul lagi pertanyaan kenapa ada gaya gravitasi dan seterusnya. Dari konsep falsafi ini lah rasio bekerja dengan nama proses berpikir untuk terus mencari keterhubungan yang ada di realitas.
Dari keterhubungan yang ditangkap, rasio kemudian mendapat kesimpulan bahwa segala sesuatu di alam ini saling terhubung dan tidak terpisahkan. Maka apa yang menjadikan segala sesuatunya terhubung?
Analisis
Manusia memiliki ketiga konsep di atas dalam perjalanannya memahami realitas di alam. Dengan ketiga konsep tersebut manusia mampu menangkap, mengolah, mempelajari, dan menghubungkan segala sesuatu yang terdapat di realitas. Jika segala sesuatu terhubung maka apakah segala sesuatu ini merupakan sesuatu yang satu? Maka apakah yang satu itu dan bisakah segala sesuatu itu adalah satu? Bisakah banyak menjadi satu?
Satu dan banyak merupakan pembahasan wujud dan maujud. Bagaimana kita melihat alam ini sebagai satu dan banyak adalah tergantung pada cara pandang kita. Selama kita masih melihat alam ini sebagai sesuatu yang banyak dan beragam maka sesungguhnya yang kita lihat adalah esensinya bukan eksistensinya. Sesungguhnya eksistensi hanya satu. Eksistensi berarti ‘ada’ dan selamanya ‘ada’ akan tetap ‘ada’. Karena’ tidak ada’ hanya ‘ada’ dalam konsep. Atau dapat dikatakan bahwa ‘tidak ada’ adalah konsep logika karena tidak memiliki realitas.
Tidak ada ‘ada’ setelah ada. Tidak ada ‘ada 1’ ‘ada2’ dan ‘ada3’. Tidak ada ‘ada setelah ada’. Maka dikatakan bahwa ‘ada’ satu. Namun indra kita tidak menangkap ‘ada’, yang kita tangkap adalah esensi. Maka dengan segala esensi yang kita persepsi ini dari mana konsep ‘ada’ muncul? Sementara ‘ada’ sendiri tidak terlihat. Membicarakan sesuatu yang tak terlihat mengingatkan kita pada non materi. Maka darimana muncul konsep non materi ini? Seandainya tidak ada Nabi yang memberikan kita konsep tentang non materi dapatkah kita menemukan konsep non materi? Apakah secara fitrah konsep itu akan muncul? Apakah sejak awal manusia ‘ada’ bersama-sama dengan ‘ada’ yang hakiki? Sementara konsep berasal dari alam material yang dipersepsi indra.
Ada adalah ada di alam ini. Maka sesungguhnya segala sesuatu ini ada termasuk manusia itu sendiri adalah ada. Ke’ada’an manusia adalah bagian dari ‘ada’ yang hakiki. Dan ke’ada’an di realitas ini selalu terhubung dan tidak terpisahkan. Secara teori sesungguhnya manusia adalah bagian dari ‘ada’ yang tak terpisahkan, hanya saja manusia tidak menyadarinya. Sebagaimana ketika kita memperhatikan sebuah planet di langit malam. Maka perhatian kita hanya akan tertuju pada satu planet itu saja, dan kita tidak menyadari ke’ada’an ribuan bintang di sekelilingnya. Hal yang sama juga terjadi pada diri kita yang sesungguhnya kita bersama-sama dengan ‘ada’ yang hakiki. Namun kita tak menyadarinya karena perhatian kita tertuju pada esensi.
Jika mengandalkan kerja rasio secara konsep falsafi maka secara teori jiwa kita akan menyadari ‘ada’. Konsep falsafi senantiasa menarik keterhubungan dari peristiwa di alam sehingga muncullah berbagai pertanyaan yang akan bermuara pada asal muasal. Maka rasio dengan kesadaran penuh secara teori akan mengantarkan kita pada ‘ada’. Tapi bisakah kita mencapai kesadaran akan ‘ada’ tanpa bantuan Nabi?
Kemudian darimana segala sesuatu ini ada? Dari ada
Sejak kapan segala sesuatu itu ada? Sejak ada itu ada karena ada memang ada
Kenapa kita ada di alam ini? Karena memang kita ada dan kita tidak akan pernah menjadi tidak ada
Maka dengan ada ini apakah sejak dahulu manusia ‘ada’ bersama ‘ada’ yang hakiki? Jika iya maka apakah kita dari dahulu selalu bersama dan hanya esensi manusia yang berubah? Maka apakah manusia ini ada sejak awal dan sampai akhir hanya saja esensinya bukan manusia?
Kesimpulan
Ada hanya ada
Kesadaran yang membuat ada dalam esensi (manusia) terpisah dengan ada yang hakiki
Referensi
Yazdi, M.T. Mishbah. 2010. Buku Daras Filsafat Islam. Jakarta: Shadra Press
Yazdi, M. T. Mishbah. 2006. Meniru Tuhan. Jakarta: Al Huda
Wallahu’alam bi shawab
Komentar
Posting Komentar