Indonesia bisa dibilang
cukup maju dibidang pendidikan. Indonesia memiliki kurikulum yang rinci dan
ter-update setiap periode. Kini permasalahan orang miskin tak bisa
sekolah pun mulai diatasi dengan banyaknya beasiswa yang disediakan oleh
pemerintah. Beasiswa SD hingga perguruan tinggi. Namun demikian, ketika seorang
pelajar SMA kelas 3 menghadapi masa kelulusan, mereka akan mulai bingung.
Ya. Bingung.
Bingung tentang apa yang akan mereka pilih.
Bagaimana tidak? Pada waktu SD, siswa diwajibkan mempelajari begitu banyak mata
pelajaran, dilanjutkan SMP yang juga begitu banyaknya, kemudian SMA kelas 1
yang makin banyak dan setelah kelas 2 mata pelajaran mulai difokuskan pada
pilihan siswa. Apakah IPS, IPA, atau bahasa. Pada pilihan ini mata pelajaran
akan begitu berat dan lebih dalam dipelajari.
Setelah lulus dan memutuskan untuk mengambil ujian serentak masuk PT, siswa tak bisa lagi pindah ke jurusan lain, atau paling tidak butuh ekstra tenaga untuk mengambil IPC. Untuk IPA ke IPS masih dapat dipelajari secara singkat, namun untuk IPS ke IPA perlu banyak waktu untuk mempelajarinya. Jadi, pilihan paling aman adalah sudah memutuskan jurusan yang akan diambil ketika masih kelas 1 SMA agar tak salah pilih.
Setelah lulus dan memutuskan untuk mengambil ujian serentak masuk PT, siswa tak bisa lagi pindah ke jurusan lain, atau paling tidak butuh ekstra tenaga untuk mengambil IPC. Untuk IPA ke IPS masih dapat dipelajari secara singkat, namun untuk IPS ke IPA perlu banyak waktu untuk mempelajarinya. Jadi, pilihan paling aman adalah sudah memutuskan jurusan yang akan diambil ketika masih kelas 1 SMA agar tak salah pilih.
Namun permasalahannya adalah bagaimana
seorang siswa bisa menentukan apa pilihannya, apa bakatnya ketika mereka
dihadapkan pada begitu banyak mata pelajaran dalam waktu yang lama dan harus
memilih pada jangka waktu yang singkat. Yang ada, siswa akan kewalahan dan
merasa tidak berbakat dalam semua bidang, atau sebaliknya ada siswa yang dapat
menguasai semua mata pelajaran namun hasilnya ia tidak fokus pada pilihan dan
bakatnya.
Untuk beberapa siswa yang telah diarahkan
oleh orang tuanya memang beruntung, missal dalam bidang non akademik seperti
atlit, musik, seni, dsb. Untuk yang orang tuanya dokter, biasanya menurun pada
anaknya, polisi, tentara, dsb akan menjadi figur yang membanggakan bagi
anak-anak.
sumber:informasipendidikan.com |
Namun, bagaimana dengan siswa yang tak
memiliki keahlian dalam bidang olahraga, musik, seni dan tidak profesi orang
tuanya bukan figur yang diidamkan? Yang ada siswa tersebut akan bimbang dengan
segala keputusannya, mudah menerima saran dan kritik dari orang lain yang
sebetulnya belum tentu membangun namun malah makin menggoyahkan keputusan.
Coba bayangkan apa yang terjadi bila sejak
kecil anak diberi banyak pilihan baik dari bidang akademik maupun non akademik.
Kemudian ia akan mencoba segala pilihan dan akan menekuni apa yang kemudian ia
sukai. Ia akan fokus pada apa yang ia sukai tanpa perlu mempelajari hal yang
tidak perlu dalam bidangnya.
Bagaimana dengan mata pelajaran yang lain?
Pada akhirnya semua mata pelajaran bagi seorang atlit, seniman, dsb tidak
berguna. Bagi seorang dokter hanya ilmu kedokteran saja yang diperlukan. Ketika
kuliah yang dipelajari juga semakin sempit, keahlian pun semakin sempit.
Semakin kita mengambil magister dan doktor maka akan dihadapkan pada pilihan
lagi di mana pilihan itu akan makin membuat kita memahami betul bidang yang
kita pilih namun mempersempit hal di luar bidang tersebut. Misal saja jurusan
kimia, pada tingkat sarjana, kimia akan dibagi menjadi berbagai konsentrasi,
tergantung kebijakan kampus, ada yang dibagi menjadi pangan, lingkungan, dan
material.
Pada hal ini, kimia pangan tak tau menau tentang kimia lingkungan, begitu juga sebaliknya. Padahal masih satu jurusan, apabila nanti sarjana kimia pangan akan terjun di masyarakat dan diminta untuk menyelesaikan masalah lingkungan, maka jawabannya belum tentu bisa, karena pada semester 5 mahasiswa tak mempelajari mata kuliah konsentrasi selain yang dipilihnya. Pada tingkat magister jurusan kimia akan dibagi lagi menjadi kimia organik, analitik, anorganik, dan fisik, begitu seterusnya yang terjadi pada semua jurusan.
Pada hal ini, kimia pangan tak tau menau tentang kimia lingkungan, begitu juga sebaliknya. Padahal masih satu jurusan, apabila nanti sarjana kimia pangan akan terjun di masyarakat dan diminta untuk menyelesaikan masalah lingkungan, maka jawabannya belum tentu bisa, karena pada semester 5 mahasiswa tak mempelajari mata kuliah konsentrasi selain yang dipilihnya. Pada tingkat magister jurusan kimia akan dibagi lagi menjadi kimia organik, analitik, anorganik, dan fisik, begitu seterusnya yang terjadi pada semua jurusan.
Pada akhirnya kita hanya akan mempelajari dan
memahami betul sebagian dari apa yang telah dipelajari selama ini. Jika
ditotalkan dari SD maka hanya berapa persen yang pada akhirnya dikuasai. Bukan
hanya itu, apa yang dikuasai tak akan bergunan jika tak diaplikasikan. Dan
seberapa banyak sarjana yang dapat mengaplikasikan ilmunya mengingat begitu
banyak pelajaran yang telah dipelajari.
Kembali lagi dengan profesi dimasa depan. Apa
yang terjadi bila sejak kecil tak mempelajari mata pelajaran? Baca, tulis,
hitung merupakan hal dasar yang perlu dipelajari. Selain itu, setiap orang akan
mempelajari sendiri di dunia luar sesuai dengan passion nya. Misal
seorang pembalap yang sering bertanding di luar negeri tentu akan mengambil
kursus bahasa Inggris tanpa ada yang menyuruh atau memaksa, karena itu adalah
keharusan jika ia ingin dapat berkomunikasi dengan baik ketika ia berada di
luar negeri. Setiap orang akan mencari tau sendiri tentang apa yang membuatnya
penasaran, maka mata pelajaran sebanyak itu tak diperlukan lagi.
Begitulah pandangan saya terkait kurikulum
pendidikan Indonesia. Semoga cita-cita
saya dapat terwujud yaitu memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
fokus pada bakatnya sejak kecil. Mari jadi bangsa yang cerdas, jadi orang tua,
guru, dan masyarakat yang cerdas.
Komentar
Posting Komentar